Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /ŋ/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itəm/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itɔm/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’ ...

Ekonomi

Ekonomi


3.  Ekonomi


Sebagaimana dinyatakan oleh Talcott Parsons, penyebarluasan transaksi tukar menukar melalui penggunaan uang "merupakan syarat terpenting terintegrasikannya ekonomi secara mantap menjadi satu sistem dan pemisahannya secara tegas dari subsistem lain dalam masyarakat."(18) Perlu dinyatakan di sini bahwa penggunaan uang sebagai alat tukar menukar atau jual beli dalam lingkup nasional untuk pertama kalinya dibakukan pada masa Tokugawa. Masa ini memang masa terjadinya perluasan dan diferensiasi ekonomi Jepang yang berlanjut terus.

Pertanian tetap merupakan sumber kekayaan sepanjang periode ini. Unit produksinya adalah pertanian keluarga para petani kecil; dan kalau ada, hanya sedikit sekali yang berkembang menjadi pertanian "kapitalistis". Metode yang digunakan tradisional, dan walaupun hasil produksinya relatif tinggi, ini terjadi berkat tenaga buruh tani dalam jumlah besar yang menjadi ciri umum pertanian padi di Timur. Sejumlah besar hasil tanaman, selain yang dibutuhkan untuk keperluan sendiri dan untuk menopang kelangsungan pertanian keluarga itu, diserap habis oleh pajak dan kebanyakan kebutuhan dicukupi melalui produksi rumahan. Dengan demikian secara keseluruhan petani cenderung selalu miskin dan relatif swadaya dalam kebutuhannya; kelompok ini paling tidak terintegrasi ke dalam ekonomi uang. Golongan samurai digaji dalam bentuk beras tetapi sebagian harus ditukar dengan uang untuk membeli keperluan selain beras. Kebanyakan bentuk kerja produktif tidak bisa dilakukan samurai karena alasan kelas sehingga mereka cenderung sepenuhnya tergantung pada gaji saja. Dengan demikian mereka terikat erat dengan ekonomi uang dan dengan selalu berubah-ubahnya harga beras, mereka menjadi kelompok yang paling rentan dalam hal ini. Golongan pengrajin kota dan pedagang tentu saja sepenuhnya masuk menjadi bagian ekonomi uang. Terakhir adalah kelompok yang baru muncul yaitu "para kapitalis pedesaan", yang biasanya adalah petani kaya yang membuat sake atau industri tekstil.

Karena sebagian besar perusahaan adalah usaha keluarga skala kecil, kebanyakan tenaga kerjanya didapat berdasar hubungan kekeluargaan. Pekerja yang bukan anggota keluarga, baik pada usaha pertanian maupun di kota, cenderung mengambil bentuk ikatan kerja jangka panjang dengan melalui proses magang atau yang serupa, dan hubungan antara pegawai serta majikan menyerupai hubungan kekeluargaan. Kecenderungan ini mirip dengan keadaan di Eropa abad Pertengahan. Di kota-kota memang tumbuh ikatan kerja jangka pendek, untuk satu atau setengah tahun, dan mulai muncul tenaga bebas yang digaji harian, mingguan, atau bulanan. Kelompok terakhir ini pada umumnya adalah para pekerja tanpa keahlian walaupun ada juga pekerja berkeahlian. Hubungan ditentukan sepenuhnya oleh ikatan uang tunai, bukannya oleh "ikatan kesetiaan", sehingga cenderung bertentangan dengan sistem nilai Jepang sebagaimana diuraikan di muka; karenanya tidak mengherankan jika pengawasan serius dilakukan terhadap perkembangan ini. Pertama-tama pemerintah mengawasi dengan ketat tenaga kerja bebas dan mengharuskan semua pekerja secara berkala mendaftar kepada orang yang oleh bakufu ditunjuk untuk urusan ini. Sebagai akibat dari pengaturan ini berkembanglah bos-bos pekerja semi-permanen. Kendati demikian, terlepas dari adanya larangan, perkembangan suatu bentuk tenaga kerja "bebas" nampaknya memang diperlukan oleh satu ekonomi yang sedang menjadi kompleks seperti itu.

Sebagaimana bisa diduga, hubungan antara penyedia barang atau jasa dengan konsumen cenderung bersifat kontinyu dan partikularistik. Lafcadio Hearn menyatakan bahwa bahkan pada masa Meiji, kalau seseorang membeli rumah, dia harus tetap menggunakan jasa tukang kebun tertentu untuk memperbaiki kerusakan, dan sebagainya; sangat sulit atau mustahil mendapatkan orang lain kecuali si pekerja yang sudah lama terikat pada rumus tersebut untuk melakukan semua pekerjaan itu.(19) Transaksi dengan syarat seperti ini, yang nampaknya menjadi kebiasaan meluas, bersifat personalistik dan tradisional. Namun, sekali lagi, dalam satu ekonomi yang demikian kompleks semua masalah pembagian dan imbalan bagi barang dan jasa tidak bisa dilakukan menggunakan kerangka partikularistik. Sekitar tahun 1800, Mitsui, toko serba ada yang besar di Edo (Tokyo modern) yang mempunyai pegawai lebih dari seribu, telah melembagakan sistem harga standar. Bahkan sebelumnya kita mendapati perintah kepada pedagang untuk menetapkan harga yang sama bagi semua pembeli baik yang sudah dikenal maupun belum. Secara umum prinsip kejujuran (shojiki) dianggap sangat penting dalam dunia bisnis. Selama hubungan antara penjual dan pembeli bersifat partikularistik dan berkesinambungan, kepercayaan langganan terjamin oleh hubungan mereka yang lama dengan penjual, dan sanksi relatif mudah dilaksanakan. Tetapi, ketika hubungan menjadi segmental, khusus dan sesaat, kepercayaan pembeli hanya bisa dipertahankan melalui dasar keyakinan bahwa penjual mentaati secara teguh ukuran kejujuran yang baku. Bahwa ukuran semacam ini muncul, erat kaitannya dengan perkembangan ekonomi yang berdiferensiasi tinggi, baik sebagai akibat maupun persyaratan awal. Pertimbangan-pertimbangan yang berhubungan dengan hubungan khusus dan sementara antara pembeli dan penjual di atas berlaku juga bagi hubungan antara majikan dan para pekerja bebas. Dalam dua situasi itu norma-norma universal secara fungsional diperlukan dan memang muncul.

Kebutuhan akan modal untuk memenuhi kebutuhan belanja sangatlah besar dalam ekonomi seperti yang berlaku di Jepang masa Tokugawa. Para petani miskin yang sudah menghabiskan cadangannya sebelum panen berikut harus meminjam kepada lintah darat untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal inilah yang menjadikan kegiatan peminjaman uang, baik daimyo(20) maupun samurai sering kali juga mengalami hal yang sama, penghasilan mereka telah habis sebelum masa panen berikut datang. Mereka juga berpaling kepada lintah darat. Beberapa pedagang terkaya masa itu mengkhususkan diri memberi pinjaman hanya khusus kepada daimyo yang hutangnya sering kali menumpuk dalam jumlah yang sangat besar. Pinjaman jenis ini menarik untuk mereka yang bermodal karena tingkat bunganya tinggi. Namun, sebenarnya pinjaman semacam ini bisa dianggap satu pemborosan jika kita memandangnya dari segi ekonomi secara keseluruhan. Sejumlah besar uang yang sedianya bisa dipinjamkan untuk perluasan kapasitas produktif dialirkan ke saluran yang pada dasarnya tidak produktif. Namun, pinjaman kepada golongan prajurit ada kerugiannya juga. Golongan ini mempunyai pengaruh yang masih kuat pada pemerintah, dan telah lebih dari sekali pada masa itu terjadi bahwa bakufu mengumumkan semua piutang yang ada dianggap lunas dan tidak berlaku lagi, dan diberikan sebagai sumbangan kepada daimyo serta samurai yang keuangannya terjepit. Selanjutnya, para pemberi pinjaman kepada daimyo terkena tindakan pengambil-alihan oleh pemerintah. Banyak sekali orang kaya yang jatuh hancur bagaikan buah prem yang terlalu masak hanya karena satu kata yang berasal dari bakufu. Karena itu, banyak pedagang yang akhirnya berkesimpulan bahwa memberi pinjaman kepada daimyo bukanlah suatu tindakan yang bijaksana. Salah satu kepala keluarga Mitsui menulis buku yang menguraikan kejatuhan beberapa pemilik modal terkaya yang memberi pinjaman jenis ini. Keluarga Mitsui memegangnya sebagai prinsip utama untuk tidak memberi pinjaman semacam itu walaupun kadang-kadang mereka terpaksa tidak bisa mengelak karena tekanan politik. Mereka lebih suka meminjamkan uangnya kepada pedagang yang bermaksud memperluas usahanya. Dengan demikian walaupun terjadi pemborosan modal ke saluran non-produktif, Mitsui dan beberapa pedagang lain yang mempunyai kebijakan serupa menjadi sumber modal produktif.

Beberapa rumah pedagang besar dan terutama tempat pertukaran uang berkembang menjadi lembaga yang melaksanakan banyak fungsi bank. Mereka menerima deposito, mengeluarkan surat wesel, dan sebagainya. Pada masa itu surat kredit (bill of exchange) juga mulai berkembang dan ini sangat bermanfaat terutama untuk menangani pembayaran antara Osaka dan Edo, karena dengan adanya itu orang tidak perlu lagi mengadakan perjalanan yang panjang, mahal, dan berbahaya dengan membawa batangan emas atau perak. Sistem hukum juga sangat menunjang lembaga-lembaga ini. Tuduhan pemalsuan surat wesel bank akan diproritaskan dalam penanganannya di pengadilan Osaka dan keputusan yang dijatuhkan diawasi betul agar ditaati. Perkembangan yang pesat di bidang kredit, dengan mengadakan cara pembayaran yang cukup luwes, jelas merupakan satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi masa itu.

Sumber daya alam tidak berlimpah di Jepang tetapi bahkan yang sedikit itu pun tidak dieksploitasi sepenuhnya pada masa Tokugawa. Tanah digarap dengan sangat intensif dan sejumlah besar areal baru dibuka pada masa itu, sedemikian sehingga sedikit saja yang masih tertinggal pada masa modern. Tenaga air sedikit digunakan untuk penggilingan tetapi pemanfaatan secara besar-besaran harus menunggu diperkenalkannya stasiun-stasiun pembangkit tenaga listrik. Batubara dan sejumlah logam juga ditambang tetapi jarang dalam jumlah yang besar. Kayu digunakan untuk bangunan dan banyak keperluan lain. Luasnya tanah hutan pegunungan sangat menguntungkan bagi Jepang. Teknologi pada umumnya relatif sederhana, tradisional dan sering kali ritualistik. Para pengrajin dalam banyak hal menunjukkan keahlian yang sangat tinggi, tetapi teknik canggih yang memungkinkan produksi skala besar hampir tidak ada. Namun, sangat menarik bahwa standarisasi telah berlaku secara luas. Tikar lantai dan barang-barang rumah tangga lainnya dibuat dalam ukuran standar sebagaimana juga pakaian. Standarisasi semacam itu jelas sangat membantu diterapkannya sistem satu harga secara dini.

Sebagaimana telah disebut, kebanyakan usaha berskala kecil dan dijalankan berdasar hubungan keluarga, dan mereka yang bukan anggota diberi peran sebagaimana anggota keluarga. Di atas tingkat usaha pribadi adalah sistem gilda yang tersebar secara luas. Yang paling menarik adalah adanya gilda-gilda grosir besar, serupa dengan perusahaan-perusahaan perdagangan pada masa Eropa awal, yang merupakan gabungan dari para pedagang besar yang menggarap suatu pasar tertentu. Sejumlah gilda grosir ini bergabung membentuk satu jalur pelayaran antara Osaka, pusat pemasok terbesar, dan Edo, pusat konsumen terbesar. Satu bentuk asuransi juga ditentukan sehingga jika terjadi ada kapal yang tenggelam atau hilang akan ditanggung bersama oleh anggota gilda.

Dengan melihat sistem nilai yang berlaku, orang mungkin akan beranggapan bahwa "persaingan bebas" tidak dinilai tinggi oleh orang Jepang, dan bahwa perkumpulan yang partikularistik akan tersebar luas di bidang ekonomi. Sebagaimana digambarkan di atas, memang demikianlah yang terjadi. Walaupun sistem gilda dihapuskan pada masa pemerintahan Meiji, keberadaan perkumpulan serupa gilda dalam bidang ekonomi sama sekali tidak hilang pada masa itu. Pada kenyataannya, sepanjang zaman modern bermacam bentuk perkumpulan di kalangan produsen sangat umum ditemui; sering kali mereka mendapatkan dukungan langsung dari pemerintah. Walaupun terdapat juga penyalahgunaan dalam organisasi semacam itu, dan dalam beberapa kasus kemajuan ekonomi terhambat karenanya, masih perlu dipertanyakan apakah, dengan melihat sistem nilai yang dipunyai Jepang, dampaknya demikian merusak seperti jika dilihat dari sudut pandang yang sepenuhnya Barat. Dengan adanya penekanan pada pelaksanaan nilai-nilai Jepang, perkumpulan-perkumpulan partikularistik ini bisa berfungsi meningkatkan standar produksi yang efisien dan kejujuran dalam urusan bisnis bukannya merintangi perkembangan yang terjadi.


Baca: Buku Religi Tokugawa, Akar-akar Budaya Jepang


-------------------------------------------
(18) The Integration of Economic and Sociological Theory, hlm. 32
(19) Japan: An Attempt at Interpretation, hlm. 441-443 
(20) Daimyo adalah istilah untuk tuan tanah penguasa Han 

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya d...

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud ...

Sejarah Kesusastraan Jepang

Buku Sejarah Kesusastraan Jepang (Nihon Bungakushi) oleh Isoji Asoo dkk. Daftar Isi Kata Pengantar Kata Sambutan Catatan dari Penyunting Daftar Isi 1.        KESUSASTRAAN ZAMAN JOODAI 1.   Garis Besar Kesusastraan Zaman Joodai 2.   Mitologi, Legenda dan Dongeng 3.   Norito dan Senmyoo 4.   Nyanyian Zaman Joodai 5.   Manyooshuu 6.   Kanshibun 2.        KESUSASTRAAN ZAMAN HEIAN 1.   Garis Besar Kesusastraan Zaman Heian 2.   Kanshibun, Waka dan Kayoo 3.   Monogatari 4.   Catatan Harian dan Essei 5.   Ceritera Sejarah dan Dongeng 3.        KESUSASTRAAN ABAD PERTENGAHAN 1.   Garis Besar Kesusastraan Abad Pertengahan 2.   Pantun Waka dan Pantun Renga 3.   Monogatari, Setsuwa dan Otogizooshi 4.   Essei, Catatan Harian dan Catatan Perjalanan 5.   Hoogo dan Kanbungaku 6. ...