Skip to main content

Jenis Fonem

Jenis Fonem Jenis fonem yang dibicarakan di atas (vokal dan konsonan) dapat dibayangkan sebagai atau dikaitkan dengan segmen-segmen yang membentuk arus ujaran. Kata bintang , misalnya, dilihat sebagai sesuatu yang dibentuk oleh enam segmen — /b/, /i/, /n/, /t/, /a/, /Å‹/. Satuan bunyi fungsional tidak hanya berupa fonem-fonem segmental. Jika dalam fonetik telah diperkenalkan adanya unsur-unsur suprasegmental, dalam fonologi juga dikenal adanya jenis fonem suprasegmental. Dalam bahasa Batak Toba kata /itÉ™m/ berarti '(pewarna) hitam', sedangkan /itÉ”m/ (dengan tekanan pada suku kedua) berarti 'saudaramu'. Terlihat bahasa yang membedakan kedua kata itu adalah letak tekanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan bersifat fungsional. Lain lagi yang diperlihatkan dalam contoh bahasa Inggris berikut. Di sini perubahan letak tekanan tidak mengubah makna leksikal kata, tetapi mengubah jenis katanya. Kata benda Kata kerja ‘import ‘impor’

Berdasarkan Perincian

Berdasarkan Perincian


5.1 Berdasarkan Perincian


Berdasarkan perincian yang dilakukan pada suatu kerangka karangan, maka dapat dibedakan kerangka karangan sementara (non-formal) dan kerangka karangan formal.

a. Kerangka Karangan Sementara
    Kerangka karangan sementara atau non-formal merupakan suatu alat bantu, sebuah penuntun bagi suatu tulisan yang terarah. Sekaligus ia menjadi dasar untuk penelitian kembali guna mengadakan perombakan-perombakan yang dianggap perlu. Karena kerangka karangan ini hanya bersifat sementara, maka tidak perlu disusun secara terperinci. Tetapi karena ia juga merupakan sebuah kerangka karangan, maka ia harus memungkinkan pengarangnya menggarap persoalannya secara dinamis, sehingga perhatian harus dicurahkan sepenuhnya pada penyusunan kalimat-kalimat, alinea-alinea atau bagian-bagian tanpa mempersoalkan lagi bagaimana susunan karangannya, atau bagaimana susunan bagian-bagiannya.

Perencanaan kerangka karangan sementara dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah dikemukakan dalam bagian 3 (lihat di atas). Mula-mula penulis merumuskan tesis berdasarkan topik dan maksud utama dari karangan itu. Kemudian di bawah tesis itu dibuat perincian berupa pencatatan semua hal yang mungkin dijadikan pokok-pokok utama atau pokok-pokok tambahan bagi tesis tadi. Pokok-pokok yang mempunyai hubungan satu sama lain, atau yang mempunyai hubungan logis dihubung-hubungkan dengan tanda panah, atau pokok yang tidak mempunyai hubungan dengan tesis dicoret. Pokok-pokok yang diterima sebagai perincian dari tesis lalu diurutkan sesuai dengan pola susunan yang dipilih, dengan diberi nomor-nomor urut sesuai dengan pola susunan tadi (lihat contoh penerapan pada bagian 6).

Kerangka karangan non-formal (sementara) biasanya hanya terdiri dari tesis dan pokok-pokok utama, paling tinggi dua tingkat perincian. Alasan untuk menggarap sebuah kerangka karangan sementara dapat berupa topik yang tidak kompleks, atau karena penulis segera menggarap karangan itu.

b. Kerangka Karangan Formal
    Kerangka karangan yang bersifat formal biasanya timbul dari pertimbangan bahwa topik yang akan digarap bersifat sangat kompleks, atau suatu topik yang sederhana tetapi penulis tidak bermaksud untuk segera menggarapnya. Namun karena pada saat menulis kerangka karangan itu muncul banyak gagasan yang jelas mengenai tesis tadi, maka penulis ingin mencatat semua gagasan yang timbul pada saat itu dalam suatu kerangka yang sangat terperinci. Bila tiba saatnya mulai menggarap tesis tadi, maka dengan membaca kembali kerangka yang terperinci itu, semua gagasan yang pernah timbul dalam pikirannya akan muncul kembali dengan jelas dan terperinci.

Proses perencanaan sebuah kerangka formal mengikuti prosedur yang sama seperti kerangka non-formal. Tesisnya dirumuskan dengan cermat dan tepat, kemudian dipecah-pecah menjadi bagian-bagian bawahan (sub-ordinasi) yang dikembangkan untuk menjelaskan gagasan sentralnya. Tiap sub-bagian dapat diperinci lebih lanjut menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sejauh diperlukan untuk menguraikan persoalan itu sejelas-jelasnya. Dengan perincian yang sekian banyak, sebuah kerangka karangan dapat mencapai lima atau enam tingkat perincian. Suatu tesis yang diperinci minimal atas tiga tingkat perincian sudah dapat disebut kerangka formal.

Supaya tingkatan-tingkatan yang ada jelas kelihatan hubungannya satu sama lain, maka dipergunakan pula simbol-simbol dan tipografi yang konsisten bagi tingkatan yang sederajat. Pokok-pokok utama yang merupakan perincian langsung dari tesis ditandai dengan angka-angka Romawi: I, II, III, IV, dst. Tiap topik utama (Tingkat I) dapat diperinci menjadi topik tingkat II, yang dalam hal ini ditandai dengan huruf-huruf kapital; A, B, C, D, dst. Topik tingkat II dapat diperinci masing-masingnya menjadi topik tingkat III yang ditandai dengan angka: 1, 2, 3, 4, 5, dst. Pokok bawahan tingkat IV ditandai dengan: a, b, c, d, dst., pokok tingkat lima ditandai dengan (1), (2), (3), dsy. sedangkan pokok bawahan tingkat VI, kalau ada, akan ditandai dengan huruf kecil dalam kurung (a), (b), (c), (d), dst. Tanda-tanda itu harus ditempatkan sekian macam sehingga mudah dilihat, misalnya seperti bagan di bawah ini:

TESIS:   .............................................................................................
PENDAHULUAN   ..................................................................................
   I.     .................................................................................................
          A. ............................................................................................
               1.  ........................................................................................
                   a.  ....................................................................................
                       (1) ...............................................................................
                       (2) ...............................................................................
                   b.  ....................................................................................
                       (1) ...............................................................................
                       (2) ...............................................................................
              2.  .........................................................................................
                  a.  .....................................................................................
                      (1) ................................................................................
                      (2) ................................................................................
                 b.  ......................................................................................
         B.  .............................................................................................
              1.  .........................................................................................
                 a.  ......................................................................................
                     (1) ..................................................................................
                     (2) ..................................................................................
                 b.  ......................................................................................
             2.  ...........................................................................................
                 a.  .......................................................................................
                 b.  .......................................................................................
                     (1) ..................................................................................
                     (2) ..................................................................................
                 c.  .......................................................................................
   II.     .................................................................................................
           dst.
   III.    .................................................................................................
           dst.



Baca: Buku Komposisi Gorys Keraf 
  

Comments

Popular posts from this blog

Tanda-tanda Koreksi

6. Tanda-tanda Koreksi Sebelum menyerahkan naskah kepada dosen atau penerbit, setiap naskah harus dibaca kembali untuk mengetahui apakah tidak terdapat kesalahan dalam soal ejaan , tatabahasa atau pengetikan. Untuk tidak membuang waktu, maka cukuplah kalau diadakan koreksi langsung pada bagian-bagian yang salah tersebut. Bila terdapat terlalu banyak salah pengetikan dan sebagainya, maka lebih baik halaman tersebut diketik kembali. Untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, lazim dipergunakan tanda-tanda koreksi tertentu, sehingga antara penulis dan dosen, atau antara penulis dan penerbit, terjalin pengertian yang baik tentang apa yang dimaksud dengan tanda koreksi itu. Tanda-tanda koreksi itu dapat ditempatkan langsung dalam teks atau pada pinggir naskah sejajar dengan baris yang bersangkutan. Tiap tanda perbaikan dalam baris tersebut (kalau ada lebih dari satu perbaikan pada satu baris) harus ditempatkan berturut-turut pada bagian pinggir kertas; bila perlu tiap-tiapnya dipis

Buku Komposisi Gorys Keraf

Daftar Isi Buku Komposisi Gorys Keraf Kata Pengantar Daftar Isi PENDAHULUAN Bahasa Aspek Bahasa Fungsi Bahasa Tujuan Kemahiran Berbahasa Manfaat Tambahan Kesimpulan BAB I PUNGTUASI Pentingnya Pungtuasi Dasar Pungtuasi Macam-macam Pungtuasi BAB II KALIMAT YANG EFEKTIF Pendahuluan Kesatuan Gagasan Koherensi yang baik dan kompak Penekanan Variasi Paralelisme Penalaran atau Logika BAB III ALINEA : KESATUAN DAN KEPADUAN Pengertian Alinea Macam-macam Alinea Syarat-syarat Pembentukan Alinea Kesatuan Alinea Kepaduan Alinea 5.1 Masalah Kebahasaan 5.2 Perincian dan Urutan Pikiran BAB IV ALINEA : PERKEMBANGAN ALINEA Klimaks dan Anti-Klimaks Sudut Pandangan Perbandingan dan Pertentangan Analogi Contoh Proses Sebab - Akibat Umum - Khusus Klasifikasi Definisi Luar Perkembangan dan Kepaduan antar alinea BAB V TEMA KARANGAN Pengertian Tema Pemilihan Topik Pembatasan Topik Menentukan Maksud Tesis dan Pengungkapan Maksud

Bagian Pelengkap Pendahuluan

2. Bagian Pelengkap Pendahuluan Bagian pelengkap pendahuluan atau disebut juga halaman-halaman pendahuluan sama sekali tidak menyangkut isi karangan. Tetapi bagian ini harus disiapkan sebagai bahan informasi bagi para pembaca dan sekaligus berfungsi menampilkan karangan itu dalam bentuk yang kelihatan lebih menarik. Biasanya bagian pelengkap pendahuluan dinomori dengan mempergunakan angka Romawi. Bagian pelengkap pendahuluan biasanya terdiri dari judul pendahuluan, halaman pengesahan, halaman judul, halaman persembahan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar dan tabel, dan halaman penjelasan kalau ada. Bila karangan itu akan diterbitkan sebagai buku, maka bagian-bagian yang diperlukan sebagai persyaratan formal adalah: judul pendahuluan, halaman belakang judul pendahuluan, halaman judul, halaman belakang judul, halaman persembahan dan halaman belakang persembahan kalau ada, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar atau tabel serta halaman penjelasan atau keterangan kalau